Rabu, 12 Oktober 2016

sEJARAH PAHAM KAUM MURJI'AH



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Ringkas Paham Murji’ah
Asal kata “murji’ah” dari “irja”, artinya menangguhkan. Kaum murji’ah artinya kaum yang menangguhkan, memberi harapan, dan mengesampingkan.
Kaum murji’ah lahir pada abad ke I Hijrah setelah melihat hal-hal yang di bawah ini :
1.      Kaum syi’ah menyalahkan, bahkan mengkafirkan orang-orang yang merebut pangkat Khalifah dari Saidina ‘Ali kw.
2.      Kaum Khawarij menghukum kafir Khalifah Muawiah, karena melawan Khalifah yang sah, yaitu Saidina Ali ra. Begitu juga kaum Khawarij mengkafirkan Saidina ali karena menerima “ tahkim” dalam peperangan “Siffin”.
3.      Kaum Mu’awiah menyalahkan pihak orang-orang Ali, karena memberontak melawan Saidina Ustman bin Affan ra.[1]
Pada situasi gawat itu lahirlah sekumpulan ummat Islam yang menjauhkan diri dari pertikaian, yang tidak mau ikut menyalahkan orang lain, tidak ikut-ikut menghukum kafir atau menghukum salah, tiadak mau mencampuri persoalan, seolah-olah mereka mau “pangku tangan” saja.
Kalau ditanya bagaimana pendapat mereka tentang Mu’awiah dan anaknya Yazid, mereka menjawab : “Kita tangguhkan persoalannya sampai dihadapan Allah dan di situ kita melihat siapa yang benar dan siapa yang salah.[2]
Begitu juga jika ditanya bagaimana pendapatnya tentang sikap kaum Khawarij yang lancing dan kaum Syi’ah yang lancang, maka mereka menjawab : “baik kita tangguhkan saja sampai dihadapan Allah dan kita lihat nanti bagaimana Allah menghukum mereka atau memberi pahala mereka”.
Begitulah kaum Murji’ah yang selalu menangguhkan suatu masalah mereka sampai kehadirat Tuhan, dan Tuhanlah yang memberikan hukuman yang adil. Mereka tidak melahirkan apa-apa dan mereka berpangku tangan saja.
Aliran Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama hijrah. Pemimpin dari kaum Murji’ah ini adalahHasan bin Bilal al-Muzni, Abu Salat as Samman, Tsauban, dan Dhirar. Penyair mereka yang terkenal pada masa bani umayyah adalah Tsabit bin Quthanah, yang telah mengarang sebuah syair tentang I’tikad dan kepercayaan kaum Murji’ah.[3] Sebagaimana halnya kaum Khawarij dan Syiah, Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik . Dalam suasana konplik yang di timbulkan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah itulah muncul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral yang tidak mau terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi diketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.[4]
Kaum Murji’ah ini mempunyai argumentasi untuk menguatkan pendapatnya, yaitu :
1.       Iman itu tidak akan rusak karena perbuatan maksiat (dosa besar) sebagaimana kekufuran itu juga tidak akan ada pengaruhnya terhadap ketaatan.
2.      Pelaku dosa besar masih mengakui / tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari keimanan.[5] 
3.      Dasar keselamatan adalah iman semata-mata, selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak mendatangkan mudharat atau gangguan atas seseorang.
B.     I’tikad Kaum Murji’ah Yang Bertentangan Dengan Kaum Sunny
Kaum Murji’ah membentuk suatu paham dalam usuluddin yang berbeda, bukan saja dengan kaum Khawarij dan kaum Syiah, tetapi berbeda juga dengan kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Paham yang dibentuk ini adalah mereka sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang menjadi sandaran bagi kaum Murji’ah tadi, seperti Abdullah bin Umar, Abi bakrah, dan lain-lainnya tidak sepaham dengan murji’ah ini.
Adapun paham-paham itu adalah :
1.      Iman itu ialah mengenal Tuhan dan Rasul-Rasulnya. Kalau kita sudah mengenl Tuhan dan Rasulnya maka itu sudah cukup, sudah menjadi mukmin.
Sebagian kaum Murji’ah yang “gullah” (radikal) sampai ada yang beri’tikad, bahwa asal kita sudah mengakui dalam hati atas wujudnya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-Rasulnya maka kita sudah mukmin, walaupun melahirkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina Rasul, Qur’an,dll.
I’tiqad kaum Murji’ah ini bertentangan dengan kaum Sunny, yang mengatakan bahwa iman itu harus percaya pada 6 fasal, yaitu percaya pada Allah, Rasul-Nya, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari kiamat, dan percaya kepada qadha dan qadarnya.
2.      Orang yang telah iman dalam hatinya, tetapi ia kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar lainnya, bagi kaum Murji’ah orang tersebut tetap mukmin.
Paha mini bertentangan dengan I’tikad kaum Sunny yang berpendapat bahwa orang mukmin menjadi kafir (murtad) kalau ia mengerjakan sesuatu hal yang membawa kepada kekafiran, seumpama menyembah berhala, mengejek-ejek Nabi, menghina Al-Quran, menghalalkan yang telah sepakat ulama Islam mengharamkannya.
3.      Kaum Murji’ah menangguhkan orang yang bersalah sampai kemuka Tuhan pada hari kiamat, ditentang oleh kaum Ahlussunnau Wal Jama’ah, karena setiap orang yang salah harus dihukum di dunia ini.
4.      Kalau kita ikuti aliran ini, maka ayat-ayat hukum seperti menghukum pencuri dengan dengan memotong tangan, menghukum rajam bagi orang yang berjina, menghukum bayar kiparat dan lain-lainnya yang banyak tersebut dalam Al-Quran tidak ada gunanya lagi, karena sekalian kesalahan akan ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
C.    Sekte-Sekte Aliran Murji’ah dan Ajaran-ajarannya
            Kemunculan sekte-sekte aliran Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapan di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
            Menurut Harun Nasution bahwa Murji’ah mempunyai dua golongan besar, yaitu golongan mudharat dan golongan ekstrem.[6] Murji’ah mudharat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiqun bil qalbi dan iqrarun bil lisan. Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan dengan lidah saja, maka tidak dapat dikatakan iman. Tetapi kedua unsure iman tidak dapat dipisahkan, karena iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Jadi pendosa besar menurut mereka tetap mukmin, tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka.
            Murji’ah ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran di dalam hati saja ( tasdiqun bil qalbi paqat ). Bahwa orang Islam yang menyatakan iman kepada tuhan kemudian berkata kufur secara lisan tidaklah menjadi kafir, Karena iman dan kufur itu tempatnya dalam hati bukan yang lain. Kemudian shalat, zakat,haji itu hanya menggambarkan kepatuhan saja, bukan ibadah, karena yang disebut dengan ibadah hanya iman.
            Menurut al-Baghdadi, kaum Murji’ah terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Murji’ah Qadariyah, Murji;ah Jabariyah, dan Murji’ah yang keluar dari Qadariyah dan Jabariyah yang terbagi menjadi lima jenis, yaitu Al-Yunusiyah, Al-Ghassaniyah, Al-Tumaniyah, Al-Tsaubaniyah, dan Al-Marisiyah.
1.      Golongan Murji’ah Qadariyah dan Jabariyah sudah menjadi kelompok tersendiri.
2.      Al-Yunusiyah (Golongan Yunus bin ‘Aun al-Namiri)
Kelompok ini melontarkan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbutan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Mukatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, sedikit atau banyak tidaklah merusah iman seseorang sebagai musyrik.
3.      Al-Ghassaniyah (Golongan ghassan al-Kufi)
Pengikut Al-Ghassan al-Kuffi, berpendirian bahwa iman adalah mengenak Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa yang diturunkan Allah dan apa yang dibawa Rasul-Nya. Iman menurut golongan ini iman bisa bertambah dan bisa berkurang, ini bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak bisa berkurang dan tidak ada perbedaan manusia dalam hal ini.
4.      Al-Tumaniyah (Golongan Abu Mu’ad al-Tumani)
Menurut golongan ini iman itu keyakinan yang bersih daripada kekufuran dan mmerupakan satu nama yang mempunyai sifat atau unsure. Orang yang meninggalkan salah satu unsure-unsur itu kafir, yaitu ma’rifat, tasdiq, mahabbah, ikhlas, dan iqrar.
5.      Al-Tsaubaniyah ( Golongan Abi Tsauban)
Kelompok ini berpendapat bahwa iman adalah pengenalan dan pengakuan lidah kepada Allah, mereka juga menambah bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajibdikerjakan. Singkatnya kelompok ini menngakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at. Kelompok ini juga berpendapat, bahwa semua perbuatan yang boleh atau tidak boleh bagi akal untuk dikerjakan bukanlah termasuk iman.
6.      Al-Marisiyah (Golongan Bisyri al- Marisi)
Paham ini meyakini bahwa iman itu adalah meyakini dalam hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul-Nya diucapkan secara lisan. Maka tidak dikatakan iman jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan secara lisan.
7.      Al-Shalihiyah (Golongan Shalih ibn Umar Al-Shalihi)
Iman adalah semata-mata pengenalan kepada Allah sebagai sang pencipta atau pengakuan terhadap Allah secara mutlak. Sedangkan kekafiran adalah ketidak tahuan terhadap Allah swt. Menurut golongan ini bahwa shalat bukanlah ibadah dan bukan sebagai pengabdian terhadap Allah, karena tiada pengabdian kepada Allah kecuali iman yakni mengakui aka nada-Nya, Iman merupakan unsure tunggal yang tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang, begitu juga dengan kufur.[7]
D.    Pengaruh Aliran Murji’ah
            Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa paham murji’ah banyak yang tidak ditemukan lagi sebagaimana aliran lainnya, bahkan keberadaannya seakan hilang ditelan masa dan hanya tinggal sejarah. Namun praktik-praktik ajarannya masih banyak kita temukan dikalangan masyarakat dewasa ini. Hanya saja tidak dinamakan lagi dengan aliran Murji’ah, tetapi dinamakan dengan aliran lain. Diantara pengaruh-pengaruh aliran Murji’ah yang masih berkembang di masyarakat dewasa ini, adalah :
1.      Penunda dan penangguhan
Menunda-nunda baik dalam urusan dunia maupun akhirat sudah menjadi kebiasaan dan hal yang lumrah dalam masyarakat sekarang ini. Apalagi dalam hal taubat, begitu banyak dosa dan maksiat yang dilakukan dan menunggu masa tua untuk bertaubat.
2.      Iman dan kufur
Sudah diketahui sebelumnya bahwa termasuk salah satu ajaran Murji’ah adalah tidak berpengaruhnya amal akan keimanan seseorang. Tetapi masih ada dikalangan masyarakat kita ini yang beranggahpan bahwa tidak kufur meninggalkan hukum syariat dan tetap akan masuk syurga dengan secuil iman walaupun tidak ada amal ibad , mereka berdalih ketika melakukan dosa atau bahkan menentang agama, tidak ada yang berhak memberi hukuman atau menentukan imannya seseorang kecuali Allah.
3.      Pengampunan tuhan di zaman sekarang
Banyak ditemukan orang yang berlebihan dan keterlaluan khususnya dalam maksiat. Bahkan mereka tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah dosa. Mereka terlalu berlebihan dalam memahami Ghafar-Nya Allah atau bisa saja dibilang salam paham dalam memaknai Al-Ghafar. Mereka yang bergelut dengan maksiat ketika ditanya tentang apa yang dilakukannya, akan menjawab bahwa pengampunan Allah begitu luas dan tidak terbatas. Hal ini bisa saja merupakan pengaruh Murji’ah ekstrem yang mewajibkan pengampunan Allah terhadap segala dosa dengan konsep penangguhannya.






BAB III
KESIMPULAN
            Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan di atas bahwa aliran Murji’ah yang terpenting dal;am kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir sekalipun melakukan dosa-dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tiadak.
            Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana yang dilakukan oleh aliran Khawarij dan Syiah.
            Aliran Murji’ah terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok mudherat dak kelompok ekstrem. Kelompok ekstrem terbagi lagi kedalam beberapa kelompok, diantaranya :
1.      Yunusiyah
2.      Ubaidiyah
3.      Ghassaniyah
4.      Tsaubaniyah
5.      Shalihiyah
6.      Marisiyah, dll.










[1] . Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlusunnah Wal Jama’ah (Jakarta :Pustaka Tarbiyah Baru, 2010),h.183.
[2] . Ibid.,hlm.183.
[3] .Ibid.                                                                                                                                                           
[4] .Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI-Press,2011),h.22.
[5] .Ris’an Rusli, Teologi Islam (Jakarta: Prenadamedia Group,2015),h.21.
[6] .Ibid.
[7] .Ibid.,hlm.26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

baik dengan Pergunakan