BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan yang lainnya, komunikasi
tidak dapat dilepaskan dari manusia, dari mulai bangun tidurnya hingga tidur
kembali. Media pers adalah media yang menghubungkan komunikasi masyarakat
dengan pemerintahan, perslah yang dapat memberitahukan berbagai informasi dan
menampung aspirasi dari masyarakat.
Menurut
undang-undang, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, elektronik dan segala jenis saluran tersedia.[1]
Dengan
belajar sejarah masa lalulah kita dapat mengetahui dan melihat bagaimana nasib
pers seperti Tempo, Indonesia Raya dan pers lainnya yang berjuang mati-matian
untuk mempertahankan kebebasannya dimasa Orde Baru, hingga masuklah masa
reformasi.
BAB II
SEJARAH PERS DI
INDONESIA
Sebuah
Filosofi Prancis mengajarkan bahwa sejarah boleh jadi akan terulang (histoire se repete). Namun Filosofi
Prancis tersebut bisa kita patahkan dengan adanya belajar sejarah, kita justru
belajar sejarah agar tidak terpuruk dua kali di lubang yang sama. Sebagaimana
W.R. Inge mengatakan “Our chief interet
in the past is as a guide to the future” (kita paling tertarik pada masa
lalu, karena ia akan menjadi pemandu kita pada masa depan).[2]
Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa berawal dari
penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
A.
Pra
Kemerdekaan/ Masa Penjajahan
Pada
era kolonialisme (pra-kemerdekaan), media massa bersatu dalam satu tujuan,
yaitu melahirkan pemikiran-pemikiran yang memperjuangkan nasionalisme
Indonesia. Pada masa tersebut peran media massa dalam menyampaikan
pesan-pesan pembentukan opini dalam
idealisme sangat berat, karena redaksionalnya dikuasai dan diawasi oleh pihak
kolonial Belanda dan Jepang. Walaupun demikian, para kuli tinta saat itu tetap
berusaha keras dalam menyampaikan pesan dan pemikiran nasionalisme di
media massa.[3]
1.
Masa
Belanda
Di
Indonesia, perkembangan jurnalistik diawali oleh belanda pada abad 18 atau
tahun 1744, yang dikenal surat kabar Bataviasche Nouvelles. Beberapa pejuang
kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat pejuang. Namun,
penjajah Belanda sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat
Indonesia, maka mereka mengeluarkan aturan Persbreidel
Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah Belanda untuk
menghentikan penerbitan yang bertentangan dengan penguasa Belanda.
Selain
itu, Belanda juga mengeluarkan peraturan Haatzai
Artekelen yaitu pasal-pasal yang mengancam hukum terhadap siapapun yang
menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian serta penghinaan terhadap
pemerintahan Belanda. Beberapa surat kabar yang terbit di zaman Belanda adalah
Bintang Timur, Bintang Barat, Jawa Bode, Medan Prijaji dan Java Bode.
2.
Masa
Jepang
Ketika
penduduk militer Jepang mengusai Indonesia, pers di Indonesia ditutup, kerena
Jepang takut dengan adanya pers maka rakyat Indonesia bisa bersatu dan mengusir
Jepang dari Indonesia. Kemudian Jepang menerbitkan surat kabar dibeberapa
majalah di kota-kota besar Indonesia dengan kewajiban menyajikan propoganda
untuk kepentingan Jepang. Akan tetapi, para wartawan asal Indonesia yang
bekerja di penerbitan-penerbitan yang dikuasai dengan ketat oleh Jepang tetap
melibatkan diri dalam pergerakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Bahkan
sebagian tokoh pers Indonesia aktif dalam persiapan proklamasi kemerdekaan
bersama pemimpin organisasi politik nasional. Setelah Soekarno memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, watawan sangat dibutuhkan untuk
menyebarluaskan pernyataan kemerdekaan Idonesia sehingga seluruh rakyat
Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya mengetahui bahwa negara kita sudah merdeka.[4]
B.
Pers
Orde Lama Dan Orde Baru
1.
Pers Era Orde Lama
Orde lama berjalan antara tahun 1945-1966.
Pers orde lama dimulai ketika Indonesia merdeka. Wartawan Indonesia mengambil
alih percetakan-percetakan asing dan mulai menerbitkan surat kabarnya sendiri.
Tidak bertahan beberapa lama, Belanda kembali dan ingin kembali menjajah
sehingga surat kabar dalam negeri harus terasing dengan surat kabar Belanda
yang melakukan propaganda pemberitaan agar masyarakat mau kembali kepada masa
Pemerintahan Belanda. Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya, dan
memilih menjalankan demokrasi liberal. Dalam masa ini, pers memiliki kebebasan
untuk menerbitkan surat kabar sesuai dengan aliran atau sesuai partai politik
yang didukung (kurang lebih sama dengan apa yang dimiliki pers saat ini).
Pada
akhirnya Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian menjadi akhir
dari kebebasan pers. Dimulai dari itu, Indonesia
menganut demokrasi dipimpin.
Sistem otoriter tersebut kemudian memaksa pers untuk tunduk pada pemerintahan.
Bahkan setiap Pers harus memperoleh SIT atau Surat Ijin Terbit dari pemerintah.
Contohnya
salah satu surat kabar pertama kaum Republik yaitu Indonesia Raya, surat kabar
harian di Jakarta yang tidak terpisah dari nama Mochtar Lubis , dengan
semboyan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Telah dicabut SIT atau
ditutup pada 2 Januari 1959, karena seringnya mengkritik tajam pemerintahan
yang berkuasa.[5]
2.
Pers
Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia
dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat
itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah
keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan
pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya,
dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan
perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di
Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada
masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari
pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar
pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan
keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di
media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen
penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan
dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers
tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela
masyarakat.
Pada masa orde baru pers Indonesia disebut
sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab. Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan
sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Yang fenomenal yaitu
peristiwa Malari. Peristiwa Malari melibatkan pemredelan 12 media cetak. Kasus
Malari yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974 itu mencatat begitu banyak
korban jiwa dan kerusakan terjadi dimana-mana. Namun yang paling fenomenal
sepanjang pembedelan media massa adalah pembredelan atau pencabutan SIUPP
(Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sejumlah media massa, antara lain Majalah
Tempo, deTIK, dan Editor. Ketiganya ditutup penerbitannya karena pemberitaan
yang tergolong kritis terhadap pemerintah.[6]
C.
Pers
Pasca Suharto atau Masa Reformasi
Sejak
reformasi digulirkan pada akhir Mei 1998, kebebasan pers telah mengalami
perkembangan yang cukup menarik. Pemberitaan di media tidak lagi didominasi
oleh berita yang menyanjung-nyanjung kekuasaan sebagaimana pada masa Orde Baru,
tetapi secara transparan telah berani mengungkapkan berbagai realitas yang sebelumnya
tergolong sangat sensitif. Pemberitaan mengenai keterlibatan koppsus dalam
penculikan aktivis, pelanggaran HAM di Aceh, peristiwa kerusuhan di Jakarta,
maupun hujatan pada Soeharto dan kroninya, sampai pada kritikan tajam pada
pemerintahan Habibie dan ABRI seakan tak habis-habisnya menghiasi pemberitaan
di media massa.[7]
Pada
masa reformasi pers bebas berpendapat pada suatu isu, yang pada waktu lalu
tidak mungkin dapat diberitakan pada khalayak. Sebelum reformasi bergulir pada
tahun 1998, sulit mencari pers yang berani mengungkapkan keburukan pemerintahan
pada masa orde baru, atau yang berani mempersalahkan kebijakan ABRI di Aceh
atau Timor Timur. Sampai-sampai pada waktu itu pers Indonesia dinilai mengidap
penyakit inferiority complex atau
hilangnya kepercayaan diri terhadap fakta-fakta sosial.
Salah
satu fenomena yang signifikan pasca reformasi ialah deregulasi di bidang media
massa, munculnya kebebasan berekspresi dan demokratisasi. Kebebasan berekspresi
ditandai dengan kebebasaan berpolitik dan perubahan kelembagaan. Setelah hilangnya
ketentuan SIUPP dan ditetapkannya UU No. 40 tentang pers, kehidupan media massa
mengalami kemerdekaan yang selama ini belum pernah dirasakan oleh pers, baik
media cetak maupun media penyiaran. Mereka bebas dari kungkungan regulasi yang
sangat ketat selama orde baru. Seperti, radio dan televisi swasta tidak boleh
membuat berita namun harus merelai dari RRI dan TVRI, sejak saat itu mereka
bebas dari kewajiban relai. Dan boleh membuat berita sendiri, bahkan berkolaborasi
dengan media asing. Kebijakan komunikasi dan pemerintah lebih berupa imbauan
kepada media agar mematuhi rambu-rambu etika atau hukum yang berlaku.
Berkaitan
dengan kondisi tersebut, munculah berbagai media massa baru baik cetak maupun
elektronik, termasuk berbagai media televisi swasta di berbagai daerah.
Asosiasi wartawan dan pengusaha media juga bermunculan, tidak lagi hanya PWI
(Persatuan Wartawan Indnesia) dan PRSSNI. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga
berkembang pesat di berbagai kota di Indonesia. Kebebasan dan keterbukaan,
telah memberi banyak tempat terhadap civil society.[8]
Fenomena
bebasnya pers muncul semenjak keberadaan era reformasi dan terutama belakunya
UU No. 39 Tahun 1999 tenang HAM, UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers dan UU No.
32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
BAB III
KESIMPULAN
Kegiata
junalistik pers di Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda,
denga lahirya surat kabar pertama “Betaviache Nouvelles” yang diterbitkan
penguasa Belanda. Selanjutnya memasuki masa perjuangan untuk memerdekakan
Indonesiadari penjaza Belanda dan Jepang. Yang artinya Pers memiliki peran yang
sangat penting untuk bangsa ini, mulai dari pra kemerdekaan hingga masuk masa
reformasi, seperti yang kita rasakan ini. Dengan pers komunikasi antara warga
negara dan pemerintahan dapat dihubungkan.
Pada
zaman orde lama dan orde baru, pers mengalami naik turun, karena seringnya
terjadi pembredelan terhadap pers, terutama pada masa rezim Soeharto yang
dikenal kediktatorannya. Sejak reformasi digulirkan pada akhir Mei 1998,
kebebasan pers telah mengalami perkembangan yang cukup menarik. Yang ditandai
dengan hilangnya ketentuan SIUPP dan ditetapkannya UU No. 40 tentang pers.
DAFTAR PUSTAKA
Djamal, Hidajanto dan Andi
Fachruddin. 2011. Dasar-dasar Penyiaran.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Hill, David T. 2010. Jurnalisme dan Politik Di Indonesia. Jakarta:
Pustaka Obor Indonesia.
Hill, David T. 2006. Indonesia Raya Dibredel. Yogyakarta: Lkis
Yogyakarta.
Subiakto, Henry dan
Rachmah Ida. 2015. Komunikasi Politik,
Media dan Demokrasi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sumadiria, Haris. 2016.
Hukum dan Etka Media Massa: Panduan Pers,
Peniaran dan Media Ciber. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Maidi. 2016. Sejarah Pers Di Indonesi. http://kukilionameidiwatri.blogspot.com.
Diakses Pada Tanggal 15 Sepetember 2018. Hari Sabtu. Pukul 10.54 WIB.
Setiawan, Galih. 2015. Pers Orde Lama dan Orde Baru. http://galihs17.blogspot.com.
Diakses Pada Tanggal 15 September 2018. Hari Sabtu. Pukul 20.57 WIB.
[1]Haris Sumadiria, Hukum dan Etka
Media Massa: Panduan Pers, Peniaran dan Media Ciber, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2016), h. 93
[2]David T. Hill, Indonesia Raya
Dibredel, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2006), h. 11
[3]Hidajanto Djamal dan Andi Fachruddin, Dasar-dasar Penyiaran, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011),
h. 80
[4]Maidi, Sejarah Pers Di Indonesia,
http://kukilionameidiwatri.blogspot.com,
Di Akses Pada Tanggal 15 Sepetember 2018, Hari Sabtu, Pukul 10.54 WIB.
[5]David T. Hill, Jurnalisme dan
Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 45
[6]Galih Setiawan, Pers Orde Lama
dan Orde Baru, http://galihs17.blogspot.com,
Di Akses Pada Tanggal 15 September 2018, Hari Sabtu, Pukul 20.57 WIB.
[7] Henry Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi
Politik, Media dan Demokrasi (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 88
[8]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
baik dengan Pergunakan