Kamis, 07 Februari 2019

Sejarah Media Pers Indonesia #sejarahpers


BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan yang lainnya, komunikasi tidak dapat dilepaskan dari manusia, dari mulai bangun tidurnya hingga tidur kembali. Media pers adalah media yang menghubungkan komunikasi masyarakat dengan pemerintahan, perslah yang dapat memberitahukan berbagai informasi dan menampung aspirasi dari masyarakat.
Menurut undang-undang, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dan segala jenis saluran tersedia.[1]
Dengan belajar sejarah masa lalulah kita dapat mengetahui dan melihat bagaimana nasib pers seperti Tempo, Indonesia Raya dan pers lainnya yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan kebebasannya dimasa Orde Baru, hingga masuklah masa reformasi.








BAB II
SEJARAH PERS DI INDONESIA
Sebuah Filosofi Prancis mengajarkan bahwa sejarah boleh jadi akan terulang (histoire se repete). Namun Filosofi Prancis tersebut bisa kita patahkan dengan adanya belajar sejarah, kita justru belajar sejarah agar tidak terpuruk dua kali di lubang yang sama. Sebagaimana W.R. Inge mengatakan “Our chief interet in the past is as a guide to the future” (kita paling tertarik pada masa lalu, karena ia akan menjadi pemandu kita pada masa depan).[2] Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa berawal dari penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
A.  Pra Kemerdekaan/ Masa Penjajahan
Pada era kolonialisme (pra-kemerdekaan), media massa bersatu dalam satu tujuan, yaitu melahirkan pemikiran-pemikiran yang memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Pada masa tersebut peran media massa dalam menyampaikan pesan-pesan  pembentukan opini dalam idealisme sangat berat, karena redaksionalnya dikuasai dan diawasi oleh pihak kolonial Belanda dan Jepang. Walaupun demikian, para kuli tinta saat itu tetap berusaha keras dalam menyampaikan pesan dan pemikiran nasionalisme di media  massa.[3]
1.    Masa Belanda
Di Indonesia, perkembangan jurnalistik diawali oleh belanda pada abad 18 atau tahun 1744, yang dikenal surat kabar Bataviasche Nouvelles. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat pejuang. Namun, penjajah Belanda sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia, maka mereka mengeluarkan aturan Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah Belanda untuk menghentikan penerbitan yang bertentangan dengan penguasa Belanda.
Selain itu, Belanda juga mengeluarkan peraturan Haatzai Artekelen yaitu pasal-pasal yang mengancam hukum terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian serta penghinaan terhadap pemerintahan Belanda. Beberapa surat kabar yang terbit di zaman Belanda adalah Bintang Timur, Bintang Barat, Jawa Bode, Medan Prijaji dan Java Bode.
2.    Masa Jepang
Ketika penduduk militer Jepang mengusai Indonesia, pers di Indonesia ditutup, kerena Jepang takut dengan adanya pers maka rakyat Indonesia bisa bersatu dan mengusir Jepang dari Indonesia. Kemudian Jepang menerbitkan surat kabar dibeberapa majalah di kota-kota besar Indonesia dengan kewajiban menyajikan propoganda untuk kepentingan Jepang. Akan tetapi, para wartawan asal Indonesia yang bekerja di penerbitan-penerbitan yang dikuasai dengan ketat oleh Jepang tetap melibatkan diri dalam pergerakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Bahkan sebagian tokoh pers Indonesia aktif dalam persiapan proklamasi kemerdekaan bersama pemimpin organisasi politik nasional. Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, watawan sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan pernyataan kemerdekaan Idonesia sehingga seluruh rakyat Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya mengetahui bahwa negara kita sudah merdeka.[4]
B.  Pers Orde Lama Dan Orde Baru
1.    Pers Era Orde Lama
Orde lama berjalan antara tahun 1945-1966. Pers orde lama dimulai ketika Indonesia merdeka. Wartawan Indonesia mengambil alih percetakan-percetakan asing dan mulai menerbitkan surat kabarnya sendiri. Tidak bertahan beberapa lama, Belanda kembali dan ingin kembali menjajah sehingga surat kabar dalam negeri harus terasing dengan surat kabar Belanda yang melakukan propaganda pemberitaan agar masyarakat mau kembali kepada masa Pemerintahan Belanda. Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya, dan memilih menjalankan demokrasi liberal. Dalam masa ini, pers memiliki kebebasan untuk menerbitkan surat kabar sesuai dengan aliran atau sesuai partai politik yang didukung (kurang lebih sama dengan apa yang dimiliki pers saat ini).
Pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian menjadi akhir dari kebebasan pers. Dimulai dari itu, Indonesia menganut demokrasi dipimpin. Sistem otoriter tersebut kemudian memaksa pers untuk tunduk pada pemerintahan. Bahkan setiap Pers harus memperoleh SIT atau Surat Ijin Terbit dari pemerintah.
Contohnya salah satu surat kabar pertama kaum Republik yaitu Indonesia Raya, surat kabar harian di Jakarta yang tidak terpisah dari nama Mochtar Lubis , dengan semboyan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Telah dicabut SIT atau ditutup pada 2 Januari 1959, karena seringnya mengkritik tajam pemerintahan yang berkuasa.[5]
2.    Pers Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab. Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Yang fenomenal yaitu peristiwa Malari. Peristiwa Malari melibatkan pemredelan 12 media cetak. Kasus Malari yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974 itu mencatat begitu banyak korban jiwa dan kerusakan terjadi dimana-mana. Namun yang paling fenomenal sepanjang pembedelan media massa adalah pembredelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sejumlah media massa, antara lain Majalah Tempo, deTIK, dan Editor. Ketiganya ditutup penerbitannya karena pemberitaan yang tergolong kritis terhadap pemerintah.[6]
C.  Pers Pasca Suharto atau Masa Reformasi
Sejak reformasi digulirkan pada akhir Mei 1998, kebebasan pers telah mengalami perkembangan yang cukup menarik. Pemberitaan di media tidak lagi didominasi oleh berita yang menyanjung-nyanjung kekuasaan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara transparan telah berani mengungkapkan berbagai realitas yang sebelumnya tergolong sangat sensitif. Pemberitaan mengenai keterlibatan koppsus dalam penculikan aktivis, pelanggaran HAM di Aceh, peristiwa kerusuhan di Jakarta, maupun hujatan pada Soeharto dan kroninya, sampai pada kritikan tajam pada pemerintahan Habibie dan ABRI seakan tak habis-habisnya menghiasi pemberitaan di media massa.[7]
Pada masa reformasi pers bebas berpendapat pada suatu isu, yang pada waktu lalu tidak mungkin dapat diberitakan pada khalayak. Sebelum reformasi bergulir pada tahun 1998, sulit mencari pers yang berani mengungkapkan keburukan pemerintahan pada masa orde baru, atau yang berani mempersalahkan kebijakan ABRI di Aceh atau Timor Timur. Sampai-sampai pada waktu itu pers Indonesia dinilai mengidap penyakit inferiority complex atau hilangnya kepercayaan diri terhadap fakta-fakta sosial.
Salah satu fenomena yang signifikan pasca reformasi ialah deregulasi di bidang media massa, munculnya kebebasan berekspresi dan demokratisasi. Kebebasan berekspresi ditandai dengan kebebasaan berpolitik dan perubahan kelembagaan. Setelah hilangnya ketentuan SIUPP dan ditetapkannya UU No. 40 tentang pers, kehidupan media massa mengalami kemerdekaan yang selama ini belum pernah dirasakan oleh pers, baik media cetak maupun media penyiaran. Mereka bebas dari kungkungan regulasi yang sangat ketat selama orde baru. Seperti, radio dan televisi swasta tidak boleh membuat berita namun harus merelai dari RRI dan TVRI, sejak saat itu mereka bebas dari kewajiban relai. Dan boleh membuat berita sendiri, bahkan berkolaborasi dengan media asing. Kebijakan komunikasi dan pemerintah lebih berupa imbauan kepada media agar mematuhi rambu-rambu etika atau hukum yang berlaku.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, munculah berbagai media massa baru baik cetak maupun elektronik, termasuk berbagai media televisi swasta di berbagai daerah. Asosiasi wartawan dan pengusaha media juga bermunculan, tidak lagi hanya PWI (Persatuan Wartawan Indnesia) dan PRSSNI. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga berkembang pesat di berbagai kota di Indonesia. Kebebasan dan keterbukaan, telah memberi banyak tempat terhadap civil society.[8]
Fenomena bebasnya pers muncul semenjak keberadaan era reformasi dan terutama belakunya UU No. 39 Tahun 1999 tenang HAM, UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.



BAB III
KESIMPULAN
Kegiata junalistik pers di Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda, denga lahirya surat kabar pertama “Betaviache Nouvelles” yang diterbitkan penguasa Belanda. Selanjutnya memasuki masa perjuangan untuk memerdekakan Indonesiadari penjaza Belanda dan Jepang. Yang artinya Pers memiliki peran yang sangat penting untuk bangsa ini, mulai dari pra kemerdekaan hingga masuk masa reformasi, seperti yang kita rasakan ini. Dengan pers komunikasi antara warga negara dan pemerintahan dapat dihubungkan.
Pada zaman orde lama dan orde baru, pers mengalami naik turun, karena seringnya terjadi pembredelan terhadap pers, terutama pada masa rezim Soeharto yang dikenal kediktatorannya. Sejak reformasi digulirkan pada akhir Mei 1998, kebebasan pers telah mengalami perkembangan yang cukup menarik. Yang ditandai dengan hilangnya ketentuan SIUPP dan ditetapkannya UU No. 40 tentang pers.











DAFTAR PUSTAKA
Djamal, Hidajanto dan Andi Fachruddin. 2011. Dasar-dasar Penyiaran. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Hill, David T. 2010. Jurnalisme dan Politik Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.
Hill, David T. 2006. Indonesia Raya Dibredel. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta.
Subiakto, Henry dan Rachmah Ida. 2015. Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sumadiria, Haris. 2016. Hukum dan Etka Media Massa: Panduan Pers, Peniaran dan Media Ciber. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
                                                                                                                       
Maidi. 2016. Sejarah Pers Di Indonesi.  http://kukilionameidiwatri.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 15 Sepetember 2018. Hari Sabtu. Pukul 10.54 WIB.
Setiawan, Galih. 2015. Pers Orde Lama dan Orde Baru. http://galihs17.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 15 September 2018. Hari Sabtu. Pukul 20.57 WIB.
         



[1]Haris Sumadiria, Hukum dan Etka Media Massa: Panduan Pers, Peniaran dan Media Ciber, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2016), h. 93
[2]David T. Hill, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2006), h. 11
[3]Hidajanto Djamal dan Andi Fachruddin, Dasar-dasar Penyiaran, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), h. 80
[4]Maidi, Sejarah Pers Di Indonesia, http://kukilionameidiwatri.blogspot.com, Di Akses Pada Tanggal 15 Sepetember 2018, Hari Sabtu, Pukul 10.54 WIB. 
[5]David T. Hill, Jurnalisme dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 45
[6]Galih Setiawan, Pers Orde Lama dan Orde Baru, http://galihs17.blogspot.com, Di Akses Pada Tanggal 15 September 2018, Hari Sabtu, Pukul 20.57 WIB.
[7] Henry Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 88
[8]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

baik dengan Pergunakan